Peranan Bahasa Indonesia dalam Konsep Ilmiah
Bahasa merupakan kunci untuk membuka khasanah pengetahuan. Hanya dengan bahasalah kita dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun bahasa Indonesia sudah berperan sebagai alat persatuan tetapi belum dapat berperan sebagai pengantar ilmu pengetahuan. Hal tersebut mengharuskan kita menerjemahkan semua buku ilmu pengetahuan di dunia ini ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya informasi ilmiah dalam bahasa Indonesia tersebut, pasti akan ada kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang berarti meningkatkan mutu bahasa indonesia sebagai bahasa ilmiah. Bahasa dipakai sebagai alat mengungkap gagasan dan pikiran. Dengan begitu bahasa adalah alat komunikasi sekaligus alat untuk memahami isi dari komunikasi itu sendiri. Komunikasi antar-orang, termasuk komunikasi ilmuwan terhadap fenomena alam dan fenomena kebudayaan.
Bahasa Indonesia dikenal sebagi bahasa aglutinatif. Artinya, kosakata dalam bahasa Indonesia dapat ditempeli dengan bentuk lain, yaitu imbuhan. Imbuhan mengubah bentuk dan makna bentuk dasar yang dilekati imbuhan itu .Karena sifat itulah, imbuhan memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Dengan demikian, sudah selayaknyalah, sebagai pemakainya kita memiliki pengetahuan mengenai ini.Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah karena bahas merupakan sarana komunikasi ilmiah pokok. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosakata yang baik akan sulit bagi seorang ilmuan untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku alat komunikasi, kita bukan saja menyampaikan informasi tetapi juga argumentasi, dimana kejelasan kosakata dan logika tata bahasa merupakan persyaratan utama.
Karya tulis ilmiah atau akademik menuntut kecermatan dalam penalaran dan bahasa. Dalam hal bahasa, karya tulis semacam itu (termasuk laporan penelitian) harus memenuhi ragam bahasa standar (formal) atau bukan bahasa informal atau pergaulan.
Ragam bahasa karya tulis ilmiah atau akademik hendaknya mengikuti ragam bahsa yang penuturnya adalah terpelajar dalam bidang ilmu tertentu. Ragam bahasa ini mengikuti kaidah bahasa baku untuk menghindari ketaksaan atau ambigiutas makna karena karya tulis ilmiah tidak terikat oleh waktu. Dengan demikian, ragam bahasa karya ilmiah sedapat-dapatnya tidak mengandung bahasa yang sifatnya kontekstual seperti ragam bahasa jurnalistik. Tujuannya agar karya tersebut dapt tetap dipahami oleh pembaca yang tidak berada dalam situasi atau konteks saat karya tersebut diterbitkan. Masalah ilmiah biasanya menyangkut hal yang sifatnya abstrak atau konseptual yang sulit dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata. Untuk mengungkapkan hal semacam itu, diperlukan struktur bahasa keilmuan adalah kemampuannya untuk membedakan gagasan atau pengertian yang memang berbeda dan strukturnya yang baku dan cermat. Dengan karakteristik ini, suatu gagasan dapat terungkap dengan cermat tanpa kesalahan makna bagi penerimanya. Ada yang menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam karya tulis ilmiah berupa penelitian yaitu :
• Bermakna isinya
• Jelas uraiannya
• Berkesatuan yang bulat
• Singkat dan padat
• Memenuhi kaidah kebahasaan
• Memenuhi kaidah penulisan dan format karya ilmiah
• Komunikasi secara ilmiah
Aspek komunikatif (keefektifan) hendaknya dicapai pada tingkat kecanggihan yang diharapkan dalam komunikasi ilmiah. Oleh karena itu, karya ilmiah tidak selayaknya membatasi diri untuk menggunakan bahasa (struktur kalimat dan istilah) popular khususnya untuk komunikasi antar ilmuan. Karena makna symbol bahasa harus diartikan atas dasar kaidah baku, karya ilmiah tidak harus mengikuti apa yang nyatanya digunakan atau popular dengan mengorbankan makna yang seharusnya. Bahasa keilmuan tidak selayaknya mengikuti kesalahkaprahan..
Pemenuhan kaidah kebahasaan merupakan ciri utama dari bahasa keilmuan. Oleh karena itu, aspek kebahasaan dalam karya ilmiah sebenarnya adalah memanfaatkan kaidah kebahasaan untuk mengungkapkan gagasan secara cermat. Kaidah ini menyangkut struktur kalimat, diksi, perangkat peristilahan, ejaan, dan tanda baca.
indeks kinerja ilmiah adalah ukuran kuantitatif sebagai referensi dasar kebijakan di bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), diperlukan sebuah instrumen. Kajian pengukuran semacam ini disebut sebagai scientometrics. Instrumen dalam bentuk indeks kinerja ilmiah ini sangat penting untuk melakukan pengukuran atas usulan, target dan pencapaian aneka aktivitas iptek. Dengan instrumen semacam ini diharapkan seluruh proses bisa dilakukan dengan transparan dan obyektif.
Secara global, sudah banyak instrumen yang diajukan. Namun hampir semuanya difokuskan pada usaha untuk mengukur kontribusi iptek dalam kehidupan masyarakat, seperti industri dan lain-lain. Sebaliknya sangat sedikit kajian yang mengarah pada indeksisasi aktivitas iptek itu sendiri. Ini dikarenakan proses pengukuran kinerja ilmiah di negara-negara maju sudah dilakukan dengan relati sangat obyektif akibat komunitas ilmiah di setiap bidang yang sudah mapan dan matang.
Sebaliknya di negara berkembang seperti Indonesia, pengukuran kinerja iptek sangat sulit dilakukan akibat keterbatasan komunitas di setiap bidang, ditambah kematangan komunitas secara ilmiah yang umumnya belum tercapai akibat budaya ilmiah yang relatif pendek.
Maksudnya ? Di hampir semua negara, proses pengajuan anggaran iptek secara garis besar bisa dibagi menjadi 2 tahapan utama :
1. Tahap politis : Proses pengajuan anggaran di level tertinggi penyelenggara negara, yaitu pengajuan oleh pengelola anggaran iptek utama ke parlemen. Pengelola anggaran utama bisa lembaga penelitian utama seperti LPND di Indonesia (LIPI, dll), Kementerian Riset (KRT), lembaga mandiri (NSF di Amerika, DFG di Jerman, JICA di Jepang, dll). Pada tahapan ini substansi proposal kegiatan iptek umumnya bersifat multi disiplin dan bidang.
2. Tahap ilmiah : Proses pengajuan anggaran oleh pelaksana riil aktivitas iptek ke pengelola anggaran iptek utama diatas. Pada tahapan ini substansi kegiatan iptek sudah fokus pada topik-topik tertentu yang spesifik.
Pada tahap pertama diatas, argumentasi dalam rangka justifikasi dilakukan dalam bahasa politis. Bahasa politis ditandai dengan argumentasi berbasis capaian jangka pendek dan riil dalam konteks "kontribusi langsung" ke publik. Sebaliknya, pada tahap kedua justifikasi harus berdasar argumentasi ilmiah. Oleh karena itu di level ini diperlukan anggota komunitas ilmiah yang mapan untuk melakukan penilaian secara obyektif dan dengan landasan ilmiah sesuai bidang kajian.
Daftar Pustaka :
http://www.iphin-kool.co.cc/2009/04/peran-dan-fungsi-bahasa-indonesia-dalam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_kinerja_ilmiah
Minggu, 25 Oktober 2009
Minggu, 11 Oktober 2009
tugas "perkembangan bahasa indonesia"
Perkembangan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).
Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
Perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (I) periode sebelum Traktat London, dan (II) periode setelah Traktat London.
I. Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-kerajan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) si Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
II. Perkembangan Bahasa Melayu Setelah Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini semakin maju serta semakin diminati masyarakat internasional. Perkembangan itu sangat menggembirakan, sekaligus menjadikan jati diri bangsa Indonesia semakin terangkat. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai tantangan. Penataan dan pengembangan materi ajar dapat dilakukan pemotongan terhadap sebagian materi secara keseluruhan.
Melalui bahasa Indonesia, masyarakat dunia dapat mengenal lebih dekat budaya dan bangsa Indonesia.tidak mengherankan apabila saat ini sudah banyak lembaga-lembaga bahasa Indonesia yang dikembangkan baik di dalam maupun luar negeri. Dengan mengajarkan bahasa Indonesia bagi pihak asing, maka dapat menghubungkan pemahaman lintas budaya melalui pengajaran yang dikembangkan di luar negeri.
Daftar pustaka:
http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).
Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
(1) Kedukan Bukit (683 Masehi),
(2) Talang Tuwo (684 Masehi),
(3) Kota Kapur (686 Masehi),
(4) Karang Brahi (686 Masehi),
(5) Gandasuli (832 Masehi),
(6) Bogor (942 Masehi), dan
(7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
Perkembangan bahasa Melayu ini dapat dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu (I) periode sebelum Traktat London, dan (II) periode setelah Traktat London.
I. Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London
Perkembangan bahasa Melayu sebelum Traktat London ini dapat disistematisasikan ke dlam beberapa era, sub-era, dan periode seperti berikut:
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
2) Era Kerajaan-kerajan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15 Masehi)
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
3) Era Pemisahan Tahun 1824
Perkembangan bahasa Melayu sebagaimana disitematisasikan tersebut sangat berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu pasca Traktat London 1824, karena bahasa Melayu berkembanga menjadi tiga arah, yaitu:
(a) di Indonesia menjadi Bahasa Indonesia;
(b) di Malaysia menjadi Bahasa Malaysia;
(c) si Brunei menjadi Bahasa Melayu Baku;dan
(d) di Singapura menjadi Bahasa Nasional.
1) Era Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai dengan abad ke-11 Masehi)
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya mengalami masa kejayaan relatif cepat oleh lokasinya yang sangat strategis pada Selat Malaka, suatu pusat perdagangan yang penting selama berabad-abad lamanya. Para saudagar dari timur dan barat serta dari Kepulauan Nusantara bertemu dan mengadakan transaksi dagang. Tentu saja bahasa Melayu, atau semacam bahasa Melayu kuno, menjadi bahasa para saudagar itu. Itulah sebabnya maka bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. (Humaidy, 1973 dan Alisjahbana dalam Fishman, 1974).
2) Era Kerajaan-keraan Melayu (abar ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi):
Pemakaian bahasa Melayu yang dipengaruhi bahasa Sansekerta telah mendominasi Kerajaan Sriwijaya. Hal ini jelas terlihat pada berbagai inskripsi batu bertulis yang ditemukan pada berbagai tempat di Sumatra. Tetapi, dalam era berikutnya, yaitu era Kerajaan-kerajaan Melayu yang muncul dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-19 Masehi, bahasa yang dipakai tidak lagi dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Raja-raja yang berkuasa pada saat itu berketurunan Melayu.
Era ini dapat dibagi menjadi dua sub-era, yaitu sub-era Kerajan Bintan dan Tumasik, dan sub-era Kerajaan Melayu Riau. Selanjutnya, sub-era Kerajaan Melayu Riau ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu periode Kerajaan Malaka, periode Kerajaan Johor, dan periode Kerajaan Riau dan Lingga. Sekali lagi, pembagian menjadi periode-periode ini sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
a) Sub-era Kerajaan Melayu Bintan-Tumasik (abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 Masehi)
Segera setelah Kerajaan Bintan didirikan di Pulau Bintan keadaan memaksa raja memindahkan ibu kota kerajaannya ke Pulau Tumasik, letak Singapura sekarang. Beberapa tahun kemudian, Tumasik dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dari Jawa. Ibu kota, sekali lagi, harus dipindahkan lagi ke Malaka di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah tempat perpindahan ini masih termasuk daerah Riau. Bahasa Melayu dipergunakan di daerah itu sebagai bahasa ibu.
Diperkirakan bahwa perpindahan pusat kekuasaan itu terjadi antara tahun 1100 Masehi sampai dengan tahun 1250 Masehi. Sayang sekali tak ada catatan tertulis yang dapat dijadikan sumber acuan mengenai peran bahasa Melaytu selama sub-era Bintan-Tumasik ini. Jadi, apakah bahasa Melayu yang dipergunakan pada sub-era ini ada hubungannya dengan bahasa Melayu pada era Kerajaan Sriwijaya tidak dapat diketahui dengan pasti.
b) Sub-era Kerajaan Meayu Riau (abad ke-14 sampai dengan abad ke-19Masehi)
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.
(1) Periode Kerajaan Malaka (abad ke-14 sampai dengan abad ke-15Masehi)
Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
(2) Periode Kerajaan Johor (abad ke-16 sampai dengan abad ke-17 Masehi)
periode Kerajaan Johor telah menyumbangkan sesuatu yang amat berharga, yaitu mempertahankan bentuk bahasa Melayu Malaka. Di Malaka, nama bahasa Melayu Malaka masih tetap dipergunakan, tetapi unsur-unsur bahasa Portugis banyak ditambahkan ke dalam bahasa tersebut sehingga pantas disebut “bahasa pidgin”. Bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis sangat berbeda dengan bahasa Melayu Malaka setelah Malaka dikuasai Portugis. Bahasa Malayu Johorlah yang mempertahaknkan ciri-ciri khas bahasa Melayu Malaka sebelum penaklukan Portugis.
Bahasa Melayu Johor memegang peran penting di dalam penyebarluasan agama Islam ke bagian timur Kepulauan Nusantara. Kesusastraan Melayu dari abad ke-16, dan bahkan sampai abadke-17, sangat dipengaruhi oleh ajaran dan pemikiran Islam. Bahasa Melayu Johor sangat berjasa di dalam penyebaran ajaran agama Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di kawasan Asia Tenggara.
(3) Periode Kerajaan Riau-Lingga (abad ke-18 sampai dengan abad-19 Masehi)
Dalam periode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan.
Pada 2 Februari 1819, kurang lebih tiga abad setelah orang-orang Eropa tiba di Kepulauan Indonesia, Stamford Raffles, ketika dia menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Bengkulu, atas nama pemerintah kolonial Inggris mendirikan kota Singapura pada salah satu pulau (Tumasik) yang bergabung dalamKepulauan FRiau. Setelah benteng Singapura ini didirikan, Inggris dan Belanda berada dalam konflik bersenjata terus-menerus karena berebut kepentingan. Segera setelah perang Napoleon di Eropa mereda, pada tahun 1824 ditandatangani persetujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara. Persetujuan itu terkenal dengan nama London Treaty of 1824 (Traktat London 1824) yang membagi kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua bagian: Kepulauan Indonesia berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan Semenanjung Malaya dan Singapura berada di bawah kekuasaan Kolonial Inggris. Dengan demikian, Kerajaan Riau dan Lingga menjadi bagian dai daerah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, dan Kerajaan Johon dan sekitarnya menjadi bagian dari daerah pemerintahan Kolonial Inggris. Mulai saat itu pula, perpisahan bahasa Melatu Riau dan bahasa Melayu Johor secara legal terjadi.
Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
II. Perkembangan Bahasa Melayu Setelah Traktat London
Sesudah Traktat London ditandatangani antara pemerintah Inggris dan Belanda, pemisahan antara Bahasa Melayu versi Riau dan Johor semakin nyata. Bahasa Melayu versi Johor di Semenanjung Malaya dan Singapura berkembang, tetapi tidak sepesat perkembangan versi bahasa Melayu Riau di Kepulauan Nusantara.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
Keadaan kebahasaan seperti digambarkan di atas berlangsung sampai dengan terbentuknya Negara Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1956. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Perkembangan bahasa Indonesia saat ini semakin maju serta semakin diminati masyarakat internasional. Perkembangan itu sangat menggembirakan, sekaligus menjadikan jati diri bangsa Indonesia semakin terangkat. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak dapat dilepaskan dari berbagai tantangan. Penataan dan pengembangan materi ajar dapat dilakukan pemotongan terhadap sebagian materi secara keseluruhan.
Melalui bahasa Indonesia, masyarakat dunia dapat mengenal lebih dekat budaya dan bangsa Indonesia.tidak mengherankan apabila saat ini sudah banyak lembaga-lembaga bahasa Indonesia yang dikembangkan baik di dalam maupun luar negeri. Dengan mengajarkan bahasa Indonesia bagi pihak asing, maka dapat menghubungkan pemahaman lintas budaya melalui pengajaran yang dikembangkan di luar negeri.
Daftar pustaka:
http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/sejarah-perkembangan-bahasa-indonesia.html
Langganan:
Postingan (Atom)